Tantangan global membawa industri ke arah suasana
persaingan “hidup-mati” yang begitu keras dan memaksanya untuk senantiasa
berupaya meningkatkan kemampuan daya saing secara berkelanjutan. Dalam hal
peningkatan daya saing, industri tidak saja harus mampu meningkatkan
produktivitas totalnya akan tetapi juga harus mampu meningkatkan kualitas,
menekan biaya dan memenuhi keinginan kustomer secara tepat waktu.
Disisi lain industri juga harus lebih memperhatikan kesejahteraan dan produktivitas
melalui peningkatan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia. Pemicu
kesadaran masyarakat global terhadap permasalahan K3 bisa dilihat dari berbagai
tuntutan terhadap jaminan keselamatan seperti :
safe air to breath, safe water to drink, safe food to
eat, safe place to live, safe product to use,dan safe & healthful workplace
(Rachel Carson – Silent Spring, 1965). K3 tampaknya masih belum menjadi budaya
kerja dan cenderung berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraanmasyarakat
yang masih rendah. Mengikuti teori Maslow, semakinmeningkattingkat
kesejahteraan, maka kebutuhan keselamatan (safety/security needs) juga semakin
tinggi. Lebih dari 20% rakyat Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan;
dan oleh karena itu faktor keselamatan/kesehatan masih belum menjadi kesadaran
dan kebutuhan yang terlalu mendesak. Keselamatan/kesehatan kerja masih merupakan
barang mewah dan mahal bagi sebagian besar masyarakat. Karena itu masyarakat memilih
angkutan murah, meriah dan mengabaikan aturan keselamatan; rela berdesak-desakan
di atas atap kereta api, berjubel dalamangkutan bus kota, dan lain-lain. Manajemen
sendiri juga sering menempatkan masalah K-3 bukan sebagai first priority dan menganggap
semua pengeluaran yang terkait dengan program-program K3 hanya sebagai biaya (costs) yang harus ditanggung, pemborosan dan bukan sebagai
investasi untuk melindungi asset-asset (mesin, fasilitas dan infrastruktur
produksi, dan/atau SDM-nya). Kasus kecelakaan di berbagai sektor seperti
kecelakaan kerja industri, lalu lintas, angkutan (darat, laut dan/atau udara),
konstruksi, pertambangan, kereta api, kebakaran hutan, dan lain-lainnya cenderung
tetap tinggi. Kondisi keselamatan kerja di industri juga
relatif
masih lebih rendah dibandingkan dengan negara industri lainnya (ILO, 2006). Di
lingkungan industri pada tahun 2005 tercatat 96.081 kasus kecelakaan kerja
dengan korban meninggal sebanyak 2.045 jiwa dan kehilangan hari kerja sebanyak
38 juta hari kerja. Pada tahun 2006 jumlah kecelakaan tercatat 92.743 kasus
kecelakaan. Sebagai perbandingan di Jepang sebagai negara industri maju, pada
tahun 2000, angka kecelakaan kerja di sektor industri tercatat 1889 kasus
sedangkan di Indonesia pada tahun yang sama tercatat 98.902 kasus kecelakaan.
Tahun 2000 kerugian nasional akibat kecelakaan mencapai 4% dari GNP, pada tahun
2006 diperkirakan akan meningkat menjadi 5-6%. Menghadapi situasi dan kondisi
semacam ini diperlukan seorang manajer industri yang menguasai benar
metode/keilmuan Teknik Industri yang tidak saja dipakai untuk memecahkan
persoalan-persoalan yang bersifat teknis-operasional (engineering design & process),
akan tetapi juga yang bersifat non-teknis (sosial-ekonomis) serta kiat-kiat
untuk mengendalikan persoalan manusia (human skill). Disisi lain juga
diperlukan seorang manajer industri yang mampu bertindak sebagai pemecah
persoalan, pengendali perubahan dan peredam konflik yang senantiasa dapat
memformulasikan dan melahirkan konsep-konsep baru untuk menghadapi segala
kompleksitas dan ketidak-pastian yang terjadi.
http://qhseconbloc.files.wordpress.com/2011/07/m_sritomo-ie-ergo-safety-usu.pdf
http://qhseconbloc.files.wordpress.com/2011/07/m_sritomo-ie-ergo-safety-usu.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar