Minggu, 06 April 2014

K3 untuk Safety Ourself



Tantangan global membawa industri ke arah suasana persaingan “hidup-mati” yang begitu keras dan memaksanya untuk senantiasa berupaya meningkatkan kemampuan daya saing secara berkelanjutan. Dalam hal peningkatan daya saing, industri tidak saja harus mampu meningkatkan produktivitas totalnya akan tetapi juga harus mampu meningkatkan kualitas, menekan biaya dan memenuhi keinginan kustomer secara tepat waktu. Disisi lain industri juga harus lebih memperhatikan kesejahteraan dan produktivitas melalui peningkatan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia. Pemicu kesadaran masyarakat global terhadap permasalahan K3 bisa dilihat dari berbagai tuntutan terhadap jaminan keselamatan seperti :
safe air to breath, safe water to drink, safe food to eat, safe place to live, safe product to use,dan safe & healthful workplace (Rachel Carson – Silent Spring, 1965). K3 tampaknya masih belum menjadi budaya kerja dan cenderung berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraanmasyarakat yang masih rendah. Mengikuti teori Maslow, semakinmeningkattingkat kesejahteraan, maka kebutuhan keselamatan (safety/security needs) juga semakin tinggi. Lebih dari 20% rakyat Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan; dan oleh karena itu faktor keselamatan/kesehatan masih belum menjadi kesadaran dan kebutuhan yang terlalu mendesak. Keselamatan/kesehatan kerja masih merupakan barang mewah dan mahal bagi sebagian besar masyarakat. Karena itu masyarakat memilih angkutan murah, meriah dan mengabaikan aturan keselamatan; rela berdesak-desakan di atas atap kereta api, berjubel dalamangkutan bus kota, dan lain-lain. Manajemen sendiri juga sering menempatkan masalah K-3 bukan sebagai first priority dan menganggap semua pengeluaran yang terkait dengan program-program K3 hanya sebagai biaya (costs) yang harus ditanggung, pemborosan dan bukan sebagai investasi untuk melindungi asset-asset (mesin, fasilitas dan infrastruktur produksi, dan/atau SDM-nya). Kasus kecelakaan di berbagai sektor seperti kecelakaan kerja industri, lalu lintas, angkutan (darat, laut dan/atau udara), konstruksi, pertambangan, kereta api, kebakaran hutan, dan lain-lainnya cenderung tetap tinggi. Kondisi keselamatan kerja di industri juga
relatif masih lebih rendah dibandingkan dengan negara industri lainnya (ILO, 2006). Di lingkungan industri pada tahun 2005 tercatat 96.081 kasus kecelakaan kerja dengan korban meninggal sebanyak 2.045 jiwa dan kehilangan hari kerja sebanyak 38 juta hari kerja. Pada tahun 2006 jumlah kecelakaan tercatat 92.743 kasus kecelakaan. Sebagai perbandingan di Jepang sebagai negara industri maju, pada tahun 2000, angka kecelakaan kerja di sektor industri tercatat 1889 kasus sedangkan di Indonesia pada tahun yang sama tercatat 98.902 kasus kecelakaan. Tahun 2000 kerugian nasional akibat kecelakaan mencapai 4% dari GNP, pada tahun 2006 diperkirakan akan meningkat menjadi 5-6%. Menghadapi situasi dan kondisi semacam ini diperlukan seorang manajer industri yang menguasai benar metode/keilmuan Teknik Industri yang tidak saja dipakai untuk memecahkan persoalan-persoalan yang bersifat teknis-operasional (engineering design & process), akan tetapi juga yang bersifat non-teknis (sosial-ekonomis) serta kiat-kiat untuk mengendalikan persoalan manusia (human skill). Disisi lain juga diperlukan seorang manajer industri yang mampu bertindak sebagai pemecah persoalan, pengendali perubahan dan peredam konflik yang senantiasa dapat memformulasikan dan melahirkan konsep-konsep baru untuk menghadapi segala kompleksitas dan ketidak-pastian yang terjadi.

http://qhseconbloc.files.wordpress.com/2011/07/m_sritomo-ie-ergo-safety-usu.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar