Kamis, 12 Desember 2013

Inikah Surga ?

Pagi ini hari terasa pilu, entah ada apa, aku tak tahu. Ku mulai aktivitas seperti biasa, hari ini tidak ada materi perkuliahan. Ingin sekali aku menatap orang tuaku, kapan aku bisa bertemu dengan mereka? sudah lebih dari 1 tahun aku tidak bertemu, sesekali bertemu kita pasti cekcok, ada saja persoalan yang dipermasalahkan. Namun, aku tidak dapat membohongi nuraniku sendiri, jika aku sangat merindukan keluargaku.

            “Rasa merindukanMu begitu menusuk.” Ungkapku saat memandang foto kami di dinding kamar.

Berulang kali ku coba menghubungi ayahku dengan panggilan suara, namun tidak ada jawaban dari beliau, dan ketika aku menghubungi ibuku dengan panggilan suara pula, terdengar jawaban

            “Kenapa Re? Uang bulananmu kurang? Ibu lagi sibuk! kamu kalau ada yang mau dibahas, hubungi enyang putri aja. Yasudah, Kamu baik-baik sayang. “

            Tutt tuut tuuttt

Belum sempat aku melontarkan suara, ibu sudah memutuskan panggilan suaraku. Aku tidak mau berlarut-larut dalam keterpurukan yang sudah menjadi akar dikehidupanku. Sejak kecil aku hidup bersama nenekku, ayah dan ibu sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, mereka bekerja mati-matian dengan harapan aku bahagia dengan materi yang berlimpah dan surge duniawi yang indah. Ya tapi, adakah mereka tahu tentang perasaanku?

Mentari sudah memberikan suryanya untuk menemani langkahku menuju rumah nenek, dengan teratur nada-nada indah bernyanyian, suara sang penguasa jalanpun tak kalah mendunya.

            “nek neneek ! “ kusapa dan kuketuk pintu rumah nenek, namun tak kunjung ada jawaban.

Kutunggu di depan teras rumah, tak lama terlihat ibu-ibu dengan wajah penuh harap menggandeng anak kecil kurus, hitam dan terlihat ada luka basah pada lutut kirinya sedang memikul karung.

            “permisi mau ambil sampah mbak. “

Sungguh air mata ini tak menetes, tapi batinku sungguh teriris, ku jawab dengan berat hati.

            “iya bu, silahkan ! “ jawabku.

Tak lama ketika ibu itu memilah sampah yang akan dibawanya,

“ Ibu, Lapaar bu, kapan kita makan “ ujan si anak.

“ sabar nak, sebentar lagi ibu dapat uang, terus beli makan. Sabar ya, ibu kerja dulu.  “

Jawab ibu dengan kebijaksanaannya.

“ Adik, ini kakak ada roti, adik mau ? “ aku menghampiri si adik sambil memberikan sebungkus roti untuknya.

“ Lo merepotkan, maav ya mbak merepotkan. Bilang apa nak? “ jawab ramah si ibu.

“ Terima kasih mbak “ jawab si anak dengan wajah polosnya

“ Tidak merepotkan kok buk, iya sama-sama adik. Dihabiskan ya ? ibuk, maav boleh saya bersihkan lukanya ? kebetulan profesi saya sebagai tenaga kesehatan bu. “ pintaku untuk membersihkan luka si anak.

“ maav merepotkan ya mbak? Iya mbak tidak apa-apa, syukurlah ada tenaga kesehatan sebaik mbak. Semoga dipermudah mbak karirnya. Amin “

“ terima kasih banyak bu, “ sambil membersihkan luka pada si anak

“ bapaknya kerja ya bu? “ tanyaku kepada si ibu.

“ enggak mbak, bapak Dinda sudah di surga, sejak dinda dalam kandungan. “

Semakin tersesali pertanyaan yang telah kuberikan kepada si Ibu. Kucoba mengalihkan pembicaraan, tak ingin aku melanjutkannya, aku tidak sanggup mendengar cerita dari ibu yang tegar ini.

“sudah dik, sudah mendingan, jangan sampai kena air ya dik? lekas sembuh adik cantik. “

“ mbak saya mau cari sesuap nasi lagi. Terima kasih banyak atas bantuan mbak “ jawab si ibu sambil menggandeng putri cantiknya.

Aku hanya tercengang dan tak mampu membendung air mataku. Bagaimana bisa aku mengeluh dengan keadaanku  sekarang, sementara aku sudah dibekali orangtuaku ilmu yang bermanfaat, ilmu kesehatan. Dimana seharusnya aku mampu  menyelamatkan bukan malah menyakiti, terlebih menyakiti perasaanku sendiri dengan seni kehidupan yang akan menghantarkanku menuju kehidupan masa depan yang lebih mencekam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar